Transkrip Rekaman Bedah Buku “Aku Melawan Teroris”
Pembicara : Al Ustadz Ja’far Umar Thalib
Naskah ini diketik dari acara bedah buku “Aku Melawan Teroris” karya Imam Samudra Tanggal 25 Desember
Bertempat di Auditorium lantai tiga FTSP Universitas Islam Indonesia
Bismillahirrohmanirrohim
-Ba’da Tahmid wa Shalawat-
Hadirin sekalian yang saya muliakan dan saya cintai, saya diminta untuk berbicara dalam acara bedah buku ini tentang buku “Aku Melawan Teroris” karya saudara kita Imam Samudra ini untuk kedua kalinya dan karena bedah buku pembahasanya tentang isi buku ini. Saya membaca buku ini, saya sedih dengan kenyataaan yang ada pada umat ini yaitu saudara Imam Samudra ini adalah salah satu korban dari sekian banyak korban kesalahan dalam mengambil manhaj atau thoriqoh atau cara memahami Alqur'an was Sunnah.
Di halaman-halaman pertama buku ini sampai halaman tujuh puluh saya semula senang dengan pemaparan dari saudara Imam Samudra ini karena yang dikatakan olehnya bahwa dia itu memahami Islam dengan jalan cara pemahaman para sahabat nabi, para tabi’in dan tabi’it tabi’in. Kemudian ketika mulai membahas permasalahan-permasalahan kasus-kasus yang ada sekarang, di situ saya melihat kerancuan pada diri saudara Imam Samudra penulis buku ini. Dimana rujukan dalam apa yang dia sebutkan dengan para ulama kaliber internasional dalam menempuh manhaj Salafus Sholih, itu dia sebutkan disamping para ulama dari kalangan ahlus sunnah wal jama’ah seperti Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i rahimahullah, Syaikh Rabi’ Al Madkholi hafidzahullah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah, Syaikh bin Baz rahimahullah, Syaikh Al Albani rahimahullah, kemudian disebutkan pula tokoh-tokoh seperti apa yang diistilahkan olehnya “Syaikh” Salman bin Fahd Al Audah, “Syaikh” DR Safar Al Hawali dan “Syaikh” DR Aiman Az Zawahiri serta tokoh…. (rekaman terputus-pent).
Dari ini saya mulai melihat adanya kerancuan pada pemahaman beliau ini karena seperti tokoh “Syaikh” Salman bin Fahd Al Audah ini sesungguhnya salah satu tokoh bersama DR Safar Al Hawali, tokoh-tokoh di Saudi yang sedang perperang melawan Ahlis Sunnah wal Jama’ah, tetapi mengaku sebagai Ahlis Sunnah wal Jama’ah. Kelihatanya memang saudara Imam Samudra itu kekurangan informasi tentang pergolakan yang sedang terjadi di Saudi dari tokoh-tokoh Ahlis Sunnah wal Jama’ah. Seandainya saudara Imam Samudra itu sempat membaca buku karya Syaikh Rabi Bin Hadi Al Madkholi hafidzahullah ini berjudul Ahlul hadits hum At thaifah Al Manshurah An Najiah Hiwar Ma’a Salman Al Audah satu buku yang membongkar penyimpangan-penyimpangan Salman Al Audah dan penentangan Salman Al audah terhadap pemahaman Salafus Sholih maka mungkin saudara Imam Samudra akan tidak menyertakan tokoh semacam Al Audah sebagai tokoh-tokoh Ahlus Sunnah bersama dengan para ulama yang disebutkanya. Juga seandainya saudara Imam Samudra membaca buku yang ditulis oleh Syaikh Abdul Malik bin Ahmad Al Mubarak Ramadhani Al Jazairi hafidzahullah berjudul “Madarikun Nadzor fis Siyasah Baina Tathbiqot As Syar’iah Wal Infi’alat Al Hamasiyah” yang dimana buku ini membongkar kebohongan-kebohongan dan penghianatan dari DR Safar Al Hawali di dalam pemaparanya tentang berbagai kejadian terutama perang teluk waktu itu, serangan Iraq ke Kuwait dan permintaan bantuan pemerintah Saudi ke Amerika, niscaya saudara Imam Samudra tidak akan mencantumkan DR Safar Al Hawali sebagai deretan tokoh-tokoh yang dia katakan sebagai ulama Kaliber internasional yang menempuh manhaj Salafus Sholih.
Kerancuan ini tidak sesederhana yang kita duga, justru ini akan membawa kepada berbagai sikap dan kemudian dilanjutkan dengan berbagai tindakan yang disangkanya sebagai suatu amalan ibadah tertinggi yaitu jihad, tapi ternyata itu adalah perbuatan penyimpangan. Hukum-hukum yang dia sebutkan disini seperti di halaman 97 sampai halaman 100 dimana dia menyatakan hukum bahwa umat Islam ini terluka karena Al Haramain ( Mekah dan Madinah ) telah diduduki oleh Amerika, oleh salibis Zionis. Kemudian disejajarkan peristiwa pendudukan Al Haramain ( Mekah dan Madinah ) oleh Salibis Zionis dengan pendudukan Zionis terhadap Al Masjidil Aqso di Yerusalem. Dengan dasar ini maka terlihat dia sangat kecewa dengan informasi seperti itu, dan berpijak dari informasi seperti itu diapun menyatakan kemarahan besar kepada kekuatan-kekuatan yang menduduki Al Haramain ( Mekah dan Madinah ) sebagai penjajah dua tanah haram itu yaitu dalam hal ini Amerika Serikat. Maka kemudian dia juga menghukumi dengan ini para ulama yang disebutkan olehnya tadi sebagai kaliber internasoinal yang bermanhaj Salafus Sholih seperti Syaikh bin Baz rahimahullah dan Syaikh bin ‘Utsaimin rahimahullah, dia hukumi sebagai ulama yang tidak mempunyai wawasan politik sehingga ditipu oleh Raja Fahd bin Abdul Aziz Al Su’ud untuk mengeluarkan fatwa tentang bolehnya meminta bantuan kepada Amerika Serikat, mengundang Amerika Serikat untuk menduduki kedua tanah haram tersebut.
Ya, padahal kalau seandainya informasi yang disebutkan oleh saudara Imam Samudra disini, dasar informasi dia untuk menyatakan bahwa dua tanah haram telah diduduki oleh Amerika Serikat ialah buku karya DR Safar Al Hawali buku yang berjudul “kasyful Hummah ‘an Ulamail Ummah” kalau lihat tahunnya bagaimana Imam Samudra membaca buku dan sebagainya, kelihatanya saya lebih dulu membaca buku ini dari pada dia, kelihatanya, wallahu A’lam. Saya ketika membaca buku ini sama perasaaanya dengan beliau, sangat kecewa dengan kenyataan tersebut. Saya sangat kecewa dengan kenyataan yang dipaparkan oleh DR Safar Al Hawali didalam buku ini dan saya juga mempunyai keyakinan seperti keyakinan Imam Samudra bahwa haramain telah diduduki oleh tentara salibis Amerika Serikat. Tetapi dua tahun setelah terbitnya buku ini kemudian saya mendapatkan buku Madarikun Nadzor Karya Syaikh Abdul Malik Ramadhani Al Jazairi hafidzahullah yang ternyata membongkar berbagai kebohongan dan kepalsuan DR Safar Al Hawali dalam informasi-informasi itu, Masya Allah saya jadi lega luar biasa. Ternyata apa yang di-informasi-kan oleh DR Safar Al Hawali tentang pendudukan Amerika terhadap Makkah dan Madinah itu adalah informasi-informasi politik atau dengan kata lain informasi-informasi bohong dan dusta, jadi kemudian juga saya sempat mempunyai pikiran ketika membaca buku yang dibaca oleh oleh Imam Samudra ini yaitu Safar Al Hawali dan Salman Al Audah, itu saya mempunyai pandangan miring terhadap para ulama seperti pada Syaikh bin Baz rahimahullah, kenapa memberi fatwa demikian, kenapa membolehkan pemerintah Saudi meminta bantuan pasukan Amerika untuk melawan ancaman Iraq, itu saya mempunyai pandangan seperti pandangan dia ini, bahwa ulama itu hanyalah perkara hukum haid dan hukum nifas saja keahlianya. Seperti pandangan tokoh Mu’tazilah dalam mengejek para ulama Ahlul Hadits dimana dikatakan bahwa ulama Ahlul Hadits itu pengetahuanya hanya seputar celana dalam wanita yaitu hukum-hukum haid dan nifas. Dan ternyata omongan ini tidak terasa saya konsumsi dari tulisan-tulisan Salman Al Audah dalam Silsilatul Ghuroba. Salman Al audah memaparkan bahwa para ulama itu tidak mempunyai wawasan politik sama sekali. Jadi kalau perkara politik jangan kesana rujukanya sebaiknya kepada para politikus sedangkan dalam perkara hukum-hukum haid dan nifas itu kepada para ulama tersebut, persis seperti itu.
Maka alhamdulillah saya bersyukur kepada Allah, saya tidak menjadi korban penyimpangan dan kedustaaan informasi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh yang sedang memerangi Ahlis Sunnah wal Jama’ah seperti Safar Hawali dan Salman Al Audah ini, dan tokoh-tokoh lain seperti Aid Al qorni atau DR Nashir Al Umari. Alhamdulillah Allah membimbing saya untuk jangan percaya kepada satu buku saja atau jangan percaya pada satu tokoh saja. Hendaknya seorang untuk mengambil kesimpulan itu mencari berbagai keterangan dari berbagai tokoh terutama para ulama.
Ketika pada tahun 1996 saya berkesempatan untuk berkunjung ke Syaikh bin Baz rahimahullah. Saya tanyakan langsung perkara kenapa beliau memberi fatwa bolehnya isti’anah bil kuffar (meminta pertolongan kepada orang kafir) dalam menghadapi ancaman dari Iraq waktu itu. Beliau dengan sabar karena melihat kebodohan saya dengan sabar menerangkan bahwa isti’anah (minta tolong) dalam kondisi kelemahan kita kepada kekuatan kuffar ini dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi wasallam dan para sahabatnya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi wasallam mencoba untuk hijrah ke Thaif dan ternyata ditolak oleh penduduk thaif dan akhirnya balik ke Mekkah, dalam kondisi bercucuran darah kaki Beliau karena dilempari oleh penduduk Thaif dalam kondisi selemah-lemahnya posisi, karena Abu Thalib meninggal dunia, Khadijah bintu Khuwailid radhiyallahu ‘anha meninggal dunia tidak ada pembela lagi bagi Beliau. Maka ketika Belau mau masuk ke Mekkah, Beliau minta tolong kepada seorang musyrik yang kemudian memberikan pembelaan dan mengumumkan di Ka’bah bahwa Muhammad hari ini dibawah perlindungan saya. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi wasallam masuk ke Mekkah dengan sebab itu. Dan demikian pula Abu Bakar As Siddiq Radhiyallahu ‘anhu, para sahabat yang lainya ketika mereka hijrah pertama dari mekkah menuju ke Ethiopia ke Habasyah, dimana raja Ethiopia adalah seorang nashrani sehinggga dengan sebab itu adalah boleh dengan contoh-contoh tersebut, beristi’anah (minta tolong) kepada kuffar dalam menghadapi bahaya terhadap kaum Muslimin. Loh, saya katakan mereka minta tolong, kan kepada orang kafir untuk menghadapi orang kafir, lah kenapa Syaikh kok antum menfatwakan minta tolong kepada orang kafir untuk menghadapi kaum muslimin. Beliau juga dengan sabar melihat kebodohan saya, menjawab sesungguhnya kenyataan yang dilakukan kaum Muslimin di Iraq tidak ragu kita bahwa mereka adalah kaum Muslimin. Tetapi mereka dibawah perintah Saddam Husain yang mempunyai pemikiran sosialis yang ekstrim, dibawah kendali seorang katholik bernama Misyair Aflaq yang menggantung para ulama Iraq di Bagdad dan di Bashrah dan di beberapa tempat yang lainya. Dengan kenyataaan itu dan dengan qorinah atau indikasi yang sepeti itu, kita melihat bahwa memang harus kita menghindarkan mafsadah yang lebih besar dengan menolak upaya Saddam Husain untuk melakukan penyerangan ke wilayah-wilayah Muslimin lainya yang sangat di-khawatir-kan dengan qorinah-qorinah itu tadi, dengan indikasi-indikasi itu tadi bahwa nasibnya kaum muslimin di wilayah lain akan sama dengan nasib kaum muslimin di Iraq dibawah Saddam Husain begitu beliau membawakan tentang kaidah yang disepakati oleh para ulama dimana beliau menyatakan “Idzaa ta’arrodho mafsadatani ruu’iya akhofihima” apabila menghadang kita dua mafsadah dua kerusakan yang sama-sama rusak maka dalam kondisi demikian di pilih mana yang paling ringan dari kedua mafsadah tersebut. Maka yang paling ringan ialah kita beristi’anah bil Kuffar dengan waktu tertentu, yaitu apabila telah selesai menjalankan tugas yang kita bebankan kepadanya yaitu membantu kita menolak, memukul mundur serangan Iraq, mereka kita minta untuk kembali ke negerinya, saya katakan “apakah itu terlaksana?”. Ya terlaksana dan mereka pulang. Loh katanya masih ada tentara Amerika disini. Beliau mengatakan “tentara Amerika disini ialah perwira Amerika saja sebagai instruktur untuk memberikan bantuan-bantuan keahlian militer, kerjasama militer bagi tentara-tentara Saudi. Jadi 120 atau berapa angka-angka yang disebutkan Safar Al Hawali itu bagaimana?! (Syaikh bin Baz rahimahullah menjawab) “Kau Lihat apa ada tentara Amerika di jalan-jalan”. Jadi hanya di kamp militer dan itupun tidak mencapai jumlah tersebut yaitu hanya terbatas perwira-perwira tentara Amerika yang ditugaskan sebagai instruktur untuk menggunakan alat-alat militer yang di impor dari Amerika.
Maka dari ini saya melihat memang luar biasa dahsyatnya gerakan untuk membikin pemalsuan informasi tentang Ahlis Sunnah wal Jama’ah dan tentang para ulama Ahlis Sunnah wal Jama’ah. Kalau saudara Imam Samudra mengatakan bahwa Syaikh bin baz rahimahullah dan para ulama itu tidak mempunyai wawasan politik sehingga ditipu oleh raja Fahd, maka ketika saudara Imam Samudra membangga-banggakan kondisi jihad di Afghanistan waktu menghadapi Uni Soviet, sesungguhnya keberangkatan dia ke Afghanistan itu kalau dirunut asalnya adalah merupakan salah satu daripada jasa Syaikh bin Baz rahimahullah yang dikatakan oleh dia (imam samudra) sebagai ulama Qo’idin yang tidak ikut perang. Syaikh bin Baz rahimahullah adalah ulama yang pertama yang meng-internasional-kan jihad di Afghanistan melawan Uni Soviet bahwa menolong kaum kaum Muslimin di Afghanistan adalah Jihad fi Sabilillah, maka berduyun-duyun seluruh kaum Muslimin ke sana waktu itu dan bantuan kaum Muslimin terutama dari negara-negara teluk, kaum Muslimin penduduk negara-negara teluk yaitu negara-negara Arab di sekitar teluk. Itu demikian besarnya ke Jihad Afghanistan adalah dengan fatwa dari Syaikh bin Baz rahimahullah ini. Dan ketika Imam Samudra masih di alam arwah belum masuk ke rahim ibunya, Syaikh bin Baz rahimahullah ketika masih dalam usia 10 tahun sudah berjihad melawan kekuatan-kekuatan Inggris di Saudi, ketika kekutan Inggris mau menduduki Nejed. Dan terjadi perlawanan kaum Muslimin disana Syaikh bin Baz rahimahullah termasuk daripada yang melawan tentara Inggris itu, ketika Imam Samudra masih di alam arwah.
Jadi kemudian dalam pembahasan berikutnya yang saya lihat di dalam buku ini di mana Imam Samudra membeberkan tentang apa yang diistilahkan dengan bom Syahid atau bom bunuh diri. Dia di sini menggambarkan adanya perselisihan para ulama dan kemudian dia membikin kategori ulama Ahlus Tsughuur dan ulama Al Qo’idin. Ulama Ahlus Tsughuur kata dia ialah ulama yang ada di medan tempur, menyaksikan dan merasakan berbagai problem pertempuran di medan perang. Kemudian ulama Al qoidiin yaitu ulama yang duduk-duduk saja yang hanya membaca kitab-kitab fiqh. Dalam kategori kedua ini, Imam Samudra menggolongkan Syaikh bin Baz rahimahullah dan para masyaikh, para ulama yang disebutkan oleh beliau sebagai ulama internasional yang bermanhaj salaf itu adalah termasuk golongan ulama qo’idin, ulama yang duduk-duduk saja yang tidak mengerti medan jihad yang sesungguhnya, karena hanya duduk-duduk saja sedangkan yang dikategorikan ulama Ahlus Tsughuur ialah dia sebutkan termasuk dari padanya ialah “Syaikh” Usamah Bin Laden dan “Syaikh” Aiman Az Zawahiri, yang kedua-duanya bukan ulama. Usamah Bin Laden bukan ulama tidak mempunyai latar belakang ilmu tentang Islam sama sekali, dan dia adalah insinyur, termasuk Aiman Az Zawahiri adalah ahli kimia. Dia bukan ulama Islam dan tidak mempunyai latar belakang keilmuan dalam hal syari’ah Islamiyyah, ini di kategorikan ulama Ahli Tsughuur.
Kemudian dia menukil omongan Shufyan At-tsauri –rahimahullah-, di mana dalam omongan Shufyan At-Tsauri –rahimahullah- ini dia sebutkan bahwa Al Imam Shufyan At-Tsauri –rahimahullah- telah menyatakan jika kalian menyaksikan manusia berselisih maka hendaklah kalian mengikuti pendapat mujahidin dan Ahli Tsughuur karena sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala berfirman Allah benar-benar memberi mereka hidayah. Wal ladzina Jaahadu fiina lanahdiyanahum subulana. Dan mereka yang berjihad dijalan kami maka mereka itu akan kami tunjuki jalan-jalan kami. Rupanya dari pembahasan Imam Samudra ini yang dikategorikan Ahli Tsughuur, yang semula memang dia sebutkan ulama Ahli Tsughuur, akhirnya ialah semua mereka yang ada di medan jihad. Nah, persyaratan untuk merujuk kepada Ahli Tsughuur di dalam Islam ialah ilmu bukan terminologi tapi ilmu. Ilmu tentang Al kitab was Sunnah ini persyaratan utama dan pertama untuk kita merujuk kepadanya di dalam memahami Islam dan juga meskipun demikian ulama yang siapapun, setinggi apapun, tidaklah akan bisa kemudian sejajar fatwanya itu dengan Al Qur'an dan Al Hadits, sama sekali tidak bisa, bukan dalil. Keterangan ulama itu bukan dalil, yang dinamakan dalil hanya-lah Al Qur'an was Sunnah. Keterangan ulama hanya membantu kita memahami dalil, sehingga Imam Malik rahimahullah menasehatkan kepada kita “Kullu kalamin yu’khodu wa yurad illa shohibu hadzal qobr”. Semua omongan siapapun bisa diambil dan ditolak kecuali omongan orang ini sambil menunjuk kepada kuburan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi wasallam. Kecuali omongan penghuni kubur ini yaitu omongan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi wasallam. Kalau memang itu secara ilmiah dipastikan itu sebagai omongan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘alihi wasallam maka omongan itu tidak bisa ditolak.
Nah jadi (sangat tidak tepat) kalau semua yang di medan perang itu dikatakan ulama Ahli Tsughuur dan menjadi rujukan di dalam memutuskan halal dan haramnya sesuatu, ini adalah akan menjadi sumber kerancuan fitnah dalam agama. Sehingga timbul fatwa apa yang di-istilah-kan bom bunuh diri atau kemudian di-istilah-kan oleh moderator tadi bom isytisyhad, sesungguhnya ya itu-itu juga, cuma permainan kata saja untuk menghibur orang supaya jangan curiga dengan fatwa bom bunuh diri itu. Sesungguhnya (bom isytisyhad) ya bunuh diri juga, di mana dalam definisi syari’ah bunuh diri itu ialah menceburkan diri di dalam kematian dengan sengaja dan dalam keadaan tahu bahwa itu adalah …. (rekaman terputus/kaset dibalik, -pentranskrip-). Atau yang sejenisnya maka terserah semua orang boleh mengatakan demikian, boleh berkata apa saja yang dia mau. Tetapi tanggung jawabnya di yaumil qiyamah tentang fatwa-fatwa agama ini, dia sungguh akan menanggungnya dan mereka yang cuma ikut-ikutan dalam beragama mereka juga akan menyesal dalam hidupnya nanti di akhirat. Wala takfu ma laisa laka bihi ilmun inna sam’a wal bashoro wal fuadak kullu ulaaikka kana ‘anhu mas’ula Firman Allah subhanahu wata'ala, Jangan kamu ikut apa yang kamu tidak ada ilmu padanya karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan akal pikiranmu itu adalah nikmat Allah yang Allah akan mintai pertanggung jawabanya nanti di yaumil qiyamah. Jadi dalam perkara agama ini jangan main-main dan saya sedih saya melihat kelihatanya saudara Imam Samudra ini sesungguhnya ingin bermanhaj berpemahaman dengan Salafus Sholih, pemahaman Ahlis Sunnah wal Jama’ah tapi sayang akibat emosi yang tidak didukung dengan ilmu maka menjerumuskan dia kepada berbagai penyimpangan-penyimpangan pemahaman yang demikian parah dan inilah sesungguhnya bukti bahwa dosa terbesar itu ialah ketika orang yang berilmu tetapi tidak beramal dengan ilmunya atau orang yang beramal tetapi tidak didasarkan amalnya itu atas ilmu.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home